Selasa, 02 Maret 2021

08.36 - No comments

GADIS DI HUTAN KRONOS

Alkisah seorang gadis yang tinggal sendiri di tengah hutan Kronos. Kedua orang tuanya meninggal dibunuh hewan liar saat berburu. Entah sudah berapa tahun gadis itu disana, tahun - tahun panjang yang membuatnya Jenuh terhadap hidupnya yang sering kesepian, kehidupan yang dihadapkan pada rutinitas yang sama setiap harinya, dibangunkan kicauan burung, mencari kayu bakar, berburu kelinci, dan ketika malam tiba tak ada yang istimewa, hanya cahaya rembulan yang mengintip dari celah-celah pohon mahoni nan tinggi, dan suara burung hantu yang menggema sesekali, tak ada teman selain sunyi. Tapi ada yang berbeda Malam itu, malam yang membuatnya lama tertidur, sibuk memikirkan bila ada seorang teman yang diajaknya bicara walau hanya sebentar, membicarakan betapa Jenuhnya dunia ini, berandai-andai sampai menjadi sempurna sudah kesepian dihati gadis itu, dan dia pun melihat bayangannya sendiri, terpantul oleh cahaya perapian disudut rumahnya, membuat bayangan itu sama besar dengan gadis itu. Ditatapnya lamat-lamat sambil berkata siapakah gerangan dirimu? seorang teman kah? Gadis itu menunggu jawaban dan benar terjawab.. teman? Iya aku temanmu, sudah lama aku berada didekatmu jauh sebelum kau menyadarinya dan menunggu untuk menyapaku, gadis itu tak perlu terkejut untuk menyambung bulir-bulir percakapan dengan bayangannya sendiri, tapi…

“Jennie..Jennie” suara panggilan dari arah dapur yang lama kian membesar, memanggil seorang gadis yang sedari tadi membaca buku-buku peninggalan koleksi ayahnya. Ialah Jennie Liscean. Gadis yang telah dirundung rindu akan kehadiran sosok yang selalu menemaninya disaat dia sedang bersedih, mencoba mengobati rasa dengan membaca buku-buku di perpustakaan pribadi ayahnya yang telah tiada, Jennie menutup bukunya kemudian disimpan rapi pada tempatnya semula dan segera bangkit setelah merapikan rambut sebahunya yang berantakan, beranjak menghapus sisa-sisa rasa penasaran akan cerita yang dibacanya tadi lalu menjawab panggilan ibunya.

“iya ibu, aku datang” Jennie berteriak sambil berlari dimana ibunya sedang menjahit diteras belakang. Langit saat itu gerimis, terlihat semburat awan hitam kelam menggulung langit dari arah barat beserta dengan kilatnya terlihat jelas diteras itu. Jennie ada di belakang ibunya, tak ada senyum tak ada kata-kata manis, Jennie disambut dengan cercaan.

“kamu itu! Belum genap sebulan ayahmu pergi, malah bermalas-malasan dikamar, bantu ibu lah disini!” kata ibu Jennie tanpa menoleh kearah Jennie yang tertunduk lesu dibelakang ibunya.

“tapi bu.. Jennie tadi lagi mem..” belum selesai kalimat Jennie sudah dibentak lagi.

“membaca? Diperpustakaan terkutuk itu lagi? Asal kamu tahu Jennie, diperpustakaan itulah ayahmu menghabiskan waktunya tanpa mengurus keluarga, sibuk dengan dunianya sendiri, dunia yang dia sebut akan membawa kebahagian di rumah ini, tapi apa? Dia hanya membawa duka dan kesepian yang mendalam meninggalkan kita dengan masalah-masalah yang kian bertambah, bertambah dengan kemalasan-kemalasanmu Jennie Liscean!” ibu Jennie berhenti berbicara untuk bernafas lebih dalam mencoba menghilangkan rasa sesak akan penderitaan didadanya, “sudah kerja PRmu?” sambung ibu Jennie dengan nada rendah, lebih seperti berbisik.

“be..belum bu..” kata Jennie seakan habis kata-kata, tercekat ditenggorokannya.

“ya sudah, selesaikan PRmu sana”

“ibu tidak mau dibantu? Kata Jennie sambil melihat ibunya meski kepalanya masih tertunduk.

Dengan cetusnya ibu Jennie berkata “tidak usah, ibu bisa sendiri”

Jennie tak perlu kata-kata selanjutnya, ia takut ibunya marah lagi, Jennie pun berjalan menuju kamarnya dilantai dua dengan gontai meninggalkan ibunya disana, tanpa tahu ibunya menangis tertahan, takut anak tersayang mendengar rintihan pilu yang dipendam untuk sang suami.

Jennie melempar tubuhnya kekasur, terlentang melihat langit-langit kamar yang gelap,seakan tak ada keceriaan disana, hanya hitam dan putih. Jennie menghayati kejadian tadi. Ibu akhir-akhir ini suka marahmungkin karena ayah sudah tiada, tapi kenapa aku yang harus kena? Bukan cuman ibu yang sakit, aku juga.. Jennie juga sakit bu.. Jennie juga rindu ayah. Bosan dengan pemandangan langit-langit kamarnya, Jennie pun membalikkan tubuhnya kearah Jendela mencari warna disana, tapi hitam yang terlihat, dilangit beserta titik-titik pertama hujan yang mengenai kaca jendela, Jennie lama menatap kosong jendelanya kemudian bergumam “hujan.. ini seperti..”, pikiran Jennie berputar mengingat kejadian kemarin, kejadian di sekolahnya, kejadian yang membuat ia ditertawakan satu sekolah, Jennie dituduh menyontek saat ujian dan dihukum berdiri dilapangan padahal saat itu sedang hujan, tapi bukan itu yang membuatnya sedih dan benci, bukan soal ditertawakan satu sekolah, ini perihal teman sebangkunya yang menuduh Jennie menyontek karena Jennie menolak memberikan jawaban ujian. Anna ! Padahal kamulah satu-satunya yang kuanggap teman, tapi kau menuduhku dengan tampang polos tak bersalah itu, aku juga bodoh tak melawan hanya karena ingin menyelamatkan mukamu dari malu di kelas. Muak dengan pikiran itu Jennie mengambil bantal dan menutup mukanya lalu berteriak sekencang-kencangnya.

Malam itu, langit terlihat buram akan gemerlapnya, bintang-bintang terusik tak terlihat, bulan pun beranjak pergi dibalik awan gelap, tak ayal angin enggan bertiup seakan malam itu menyimpan rahasia yang tak ingin terungkap.

Di lantai dua sebuah rumah, cahaya dibalik pintu memang sudah redup, tapi penghuninya belum juga tertidur, Jennie masih berkutat dengan pikirannya yang sendiri kesepian, tak ada teman, tak ada mulut untuk diajak menumpahkan sesak didada. Sesal dengan isi kepalanya, Jennie terbangun dan duduk ditepian kasur membelakangi Jendela, tak terduga kilat menyambar dari balik Jendela sehingga sempurna tercetak bayangan Jennie didinding, Jennie terdiam sesegera bayangannya hilang bersama kilat yang menyambar, memikirkan apa yang dilihatnya tadi, tak pernah dia merasa seaneh melihat bayangannya sendiri setelah dia membaca cerita itu di perpustakaan ayahnya tadi. Cerita seorang gadis di hutan Kronos yang kesepian, sedang mencari jawaban akan hatinya yang selalu menerka-nerka bila ada seorang teman yang akan menemani malam-malamnya, kemudian menemukan bayangannya sendiri sebagai teman. Jennie bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah?, lama Jennie memikirkannya dan memutuskan bangkit dari kasur menuju laci meja belajarnya, laci yang menyimpan sebuah senter, tapi saat Jennie tepat memegang senter yang akan menjawab pertanyaan hatinya, dia menolak dan menaruhnya kembali, ahh bodohnya kamu Jennie, itu hanya cerita, tak mungkinlah nyata. Jennie yang menolak untuk tahu segera beranjak tidur.

“lihatlah dirimu, dari mana saja kamu, lusuh, dan itu! Kenapa lengan bajumu yang sudah ibu jahit robek?, bertengkar lagi? Jennie Liscean!”

Jennie berlari menuju kamarnya dengan air mata yang ditahan, agar tak tertumpah dihadapan ibunya, Ia tak menyangka dihadapkan dengan kemarahan ibunya, bukan sambutan seperti yang diharapkannya setelah kejadian di sekolah, seisi kelas masih mengejeknya perihal contekan itu, Jennie memberitahu kalau Anna lah yang menyontek, tapi tidak ada yang percaya. Sakitnya, Anna hanya terdiam disudut kelas melihat Jennie menjadi bahan ejekan.

Jennie menutup pintu kamarnya, seperti menutup hatinya kepada siapa pun kali ini, mengurung diri, tanpa pikir panjang, Jennie mengambil senter dilaci meja belajarnya dan diletakkan persis disisi Jendela kemudian menyalakannya, praktis cahaya senter mencetak tubuhnya, lalu muncullah bayangan Jennie didinding kamar. Jennie duduk ditepian kasur menghadap ke bayangannya, sesunggukan menumpahkan air mata yang sedari tadi ditahan. “Hei kamu yang didinding, apakah kamu temanku?”, Jennie menunggu, tapi karena menunggunya lah, Jennie bergumam seakan tak percaya apa yang dikatakannya, gila, aku bertanya pada bayanganku sendiri, mana mungkin, Jennie tertunduk putus asa dan kasihan, kasihan terhadap dirinya sendiri, hanya kedua tangannya lah yang mampu menyembunyikan tangisan sedu diwajahnya. Dan percakapan itu pun terjadi. “Tentulah aku temanmu, Jennie Liscean”. Jennie tercekat atas apa yang didengarnya, mata Jennie terbelalak mencari asal suara itu, tak perlu pintar untuk mengetahui dari mana asalnya, di kamar itu hanya Jennie dan bayangannya, Jennie gemetar mengumpulkan keberanian dan menatap lamat-lamat bayangan itu didinding. “Benarkah?” Mata Jennie menyipit, “tentu saja, sudah lama aku berada didekatmu jauh sebelum kau menyadarinya dan menunggu untuk menyapaku.” Mendengar jawaban bayangannya, Jennie teringat cerita itu, cerita yang belum selesai dibacanya, tapi Jennie tak perlu tahu kelanjutan cerita untuk menyambung bulir-bulir percakapan dengan bayangannya sendiri, dia tumpahkan semua isi hatinya, bayangan itu seperti tahu kapan harus berkata dan kapan harus diam, kemudian bayangan itu pun berkata, “tahukah kamu Jennie, apa yang salah dalam dirimu?” Jennie menggeleng tak tahu, “semuanya!”, Dahi Jennie mengkerut tak mengerti apa yang dikatakan bayangannya sendiri, tapi bayangan itu belum selesai, “Jennie Liscean, seharusnya kamu tak berada disini, harusnya kamu dengan ayahmu, meringkuk dipangkuannya yang hangat, kecelakaan itu untuk kalian berdua, pikirkanlah kenapa engkau selalu kesepian, itu karena memang tempatmu bukan disini”. Jennie terdiam memaknai semuanya yang telah terjadi, seakan semuanya sudah jelas, garis-garis kusut telah terbentang lurus dipikirannya, jelas menuju satu titik gelap. Yaitu mati.

 sampai malam membuih tak kunjung habis, bergetar hujan turun disertai kilat-kilat menyambar dari balik Jendela, lengkap sudah Jennie Liscean berjalan kekamar mandi membawa sebilah pisau buah yang diambilnya diatas meja makan, tatapan Jennie jelas menembus urat nadinya, sejelas irisan pisau bergaris merah merekah dipergelangan tangannya, namun Jennie tersadar dan menghentikan laju pisau ditangannya, segera pisau itu jatuh terpelanting turut dengan tubuh Jennie merasakan dinginnya lantai kamar mandi, terbaring dengan tatapan Jennie jauh menembus tembok-tembok penghalang melihat ibunya yang menangisi dirinya dibalut kain putih. Aku bodoh, egois, ibu lah yang paling kesepian, aku hanya sibuk dengan perasaanku sendiri. Jennie menangis sesenggukan, ada segaris harapan yang menunggunya. Jennie bangkit, entah dari mana semangatnya datang, dia ingin mengetahui sesuatu. Di perpustakaan ayahnya.

Jennie berjalan gontai dilorong rumahnya, tak terhitung bekas darah didinding dan lantai rumah karena usaha Jennie untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, sampai ditumpukan buku-buku, Jennie menemukan cerita itu lagi, ini dia, Gadis Di Hutan Kronos. Jennie membuka lembar demi lembar, menyisakan bekas darah dilembaran-lembaran yang dilewatinya, Jennie pun mulai membaca dengan pucat pasi diwajahnya.

Tapi bayangan itu berkata lain, tahukah kamu wahai gadis kesepian, apa yang salah dalam dirimu? Gadis itu menggeleng tanda tak tahu dan menunggu kata-kata selanjutnya, semuanya, wahai gadis kesepian, seharusnya kamu tak berada disini, harusnya kamu dengan kedua orang tuamu, meringkuk dipangkuannya yang hangat, kematian itu untuk kalian bertiga, pikirkanlah kenapa engkau selalu kesepian, itu karena memang tempatmu bukan disini. Gadis itu terdiam dalam lamunannya, seperti mencerna lemat-lemat dan membenarkan perkataan bayangannya sendiri hingga pagi menjadi saksi hilangnya gadis itu di danau tak jauh dari rumah sang gadis kesepian.

Jennie mendengus, bukankah ini hanya cerita fiksi, tak nyata, tapi kenapa gadis itu sama sepertiku?, pusing tak terhindarkan lagi seiring hilangnya darah dipergelangan tangan Jennie, namun Jennie tak mau menyerah menemukan jawabannya, oh tidak, gadis itu berbeda denganku, aku masih memiliki ibu, aku tidak kesepian, ibu yang kesepian, aku harus menemaninya, bayanganku hanyalah ada dalam kepalakuaku bingung sampai mencari-cari alasan dibalik sedihku, bayangan itu hanyalah pelarian, tak nyata, bodohnya diriku, ibu..ibu..aku ingin ibu.

Jennie menemukan harapannya. Berjalan menyusuri lorong-lorong rumah, tak ada penerangan hanya cahaya kilatan-kilatan dari balik Jendela, tergambar menyilaukan mata, Jennie bersemangat tapi tubuhnya sudah tak sanggup lagi, roboh, matanya berkunang. Gelap.

Tersadar,tapi matanya tak kunjung terbuka, hanya telinga yang sayup-sayup menangkap suara yang sangat dikenalinya, Sisa-sisa cahaya mulai terkumpul dimata Jennie membentuk warna-warna sosok wajah yang dirindukan.

“ibu..” Jennie bergumam

“iya nak, ibu disini,” kata ibu Jennie sembari mendekatkan wajahnya.

“Jennie.. dimana bu? Surga?”

“hush.. surga..surga jidatmu” Jari ibu Jennie memencet hidung anak tersayangnya sambil tersenyum.

“soalnya, ada bidadari dihadapanku” mendengar itu jari ibu Jennie makin dipincet dihidung Jennie.

“bidadarinya aku mungkin Jen, iya kan?” ada Anna disana memunculkan wajah senyumnya diantara wajah ibunya.

“Anna?, ah..!” Jennie memalingkan wajahnya.

“Jen?” sekejap wajah riang Anna berganti sedih.

“Anna bukan bidadari, tapi bidadara, mirip laki-laki kamu!” kata Jennie menahan tawanya.

“ihh Jennie.. kebiasaan ya, bidadari nih, bi..da..da..ri” Anna pun ikut tertawa.

“aku sudah dengar tadi, kamu kan yang mendonorkan darah?” kata Jennie tersenyum

Anna tak perlu menjawab, dia hanya membalas dengan senyumnya .

Gadis yang melupakan bayang-bayang menuju tempat yang dirindukan. Malam itu Jennie terjatuh tepat dipangkuan ibunya yang tertidur, tempat terhangat yang dirasakan. Ialah Jennie Liscean yang menemukan kembali cahayanya.