

GADIS DI HUTAN KRONOS
“Alkisah seorang gadis yang tinggal sendiri di tengah hutan Kronos.
Kedua orang tuanya meninggal dibunuh hewan liar saat berburu. Entah sudah
berapa tahun gadis itu disana, tahun - tahun panjang yang membuatnya Jenuh
terhadap hidupnya yang sering kesepian, kehidupan yang dihadapkan pada
rutinitas yang sama setiap harinya, dibangunkan kicauan burung, mencari kayu
bakar, berburu kelinci, dan ketika malam tiba tak ada yang istimewa, hanya
cahaya rembulan yang mengintip dari celah-celah pohon mahoni nan tinggi, dan
suara burung hantu yang menggema sesekali, tak ada teman selain sunyi. Tapi ada
yang berbeda Malam itu, malam yang membuatnya lama tertidur, sibuk memikirkan
bila ada seorang teman yang diajaknya bicara walau hanya sebentar, membicarakan
betapa Jenuhnya dunia ini, berandai-andai sampai menjadi sempurna sudah
kesepian dihati gadis itu, dan dia pun melihat bayangannya sendiri, terpantul
oleh cahaya perapian disudut rumahnya, membuat bayangan itu sama besar dengan
gadis itu. Ditatapnya lamat-lamat sambil berkata siapakah gerangan
dirimu? seorang teman kah? Gadis itu menunggu jawaban dan benar
terjawab.. teman? Iya aku temanmu, sudah lama aku berada didekatmu jauh
sebelum kau menyadarinya dan menunggu untuk menyapaku, gadis itu tak
perlu terkejut untuk menyambung bulir-bulir percakapan dengan bayangannya
sendiri, tapi…”
“Jennie..Jennie” suara
panggilan dari arah dapur yang lama kian membesar, memanggil seorang gadis yang
sedari tadi membaca buku-buku peninggalan koleksi ayahnya. Ialah Jennie
Liscean. Gadis yang telah dirundung rindu akan kehadiran sosok yang selalu menemaninya
disaat dia sedang bersedih, mencoba mengobati rasa dengan membaca buku-buku di
perpustakaan pribadi ayahnya yang telah tiada, Jennie menutup bukunya kemudian
disimpan rapi pada tempatnya semula dan segera bangkit setelah merapikan rambut
sebahunya yang berantakan, beranjak menghapus sisa-sisa rasa penasaran akan
cerita yang dibacanya tadi lalu menjawab panggilan ibunya.
“iya ibu, aku datang”
Jennie berteriak sambil berlari dimana ibunya sedang menjahit diteras belakang.
Langit saat itu gerimis, terlihat semburat awan hitam kelam menggulung langit
dari arah barat beserta dengan kilatnya terlihat jelas diteras itu. Jennie ada
di belakang ibunya, tak ada senyum tak ada kata-kata manis, Jennie disambut
dengan cercaan.
“kamu itu! Belum genap
sebulan ayahmu pergi, malah bermalas-malasan dikamar, bantu ibu lah disini!”
kata ibu Jennie tanpa menoleh kearah Jennie yang tertunduk lesu dibelakang
ibunya.
“tapi bu.. Jennie tadi lagi
mem..” belum selesai kalimat Jennie sudah dibentak lagi.
“membaca? Diperpustakaan
terkutuk itu lagi? Asal kamu tahu Jennie, diperpustakaan itulah ayahmu
menghabiskan waktunya tanpa mengurus keluarga, sibuk dengan dunianya sendiri,
dunia yang dia sebut akan membawa kebahagian di rumah ini, tapi apa? Dia hanya
membawa duka dan kesepian yang mendalam meninggalkan kita dengan
masalah-masalah yang kian bertambah, bertambah dengan kemalasan-kemalasanmu Jennie
Liscean!” ibu Jennie berhenti berbicara untuk bernafas lebih dalam mencoba
menghilangkan rasa sesak akan penderitaan didadanya, “sudah kerja PRmu?”
sambung ibu Jennie dengan nada rendah, lebih seperti berbisik.
“be..belum bu..” kata Jennie
seakan habis kata-kata, tercekat ditenggorokannya.
“ya sudah, selesaikan PRmu
sana”
“ibu tidak mau dibantu?
Kata Jennie sambil melihat ibunya meski kepalanya masih tertunduk.
Dengan cetusnya ibu Jennie
berkata “tidak usah, ibu bisa sendiri”
Jennie tak perlu kata-kata
selanjutnya, ia takut ibunya marah lagi, Jennie pun berjalan menuju kamarnya
dilantai dua dengan gontai meninggalkan ibunya disana, tanpa tahu ibunya
menangis tertahan, takut anak tersayang mendengar rintihan pilu yang dipendam
untuk sang suami.
Jennie melempar tubuhnya
kekasur, terlentang melihat langit-langit kamar yang gelap,seakan tak ada
keceriaan disana, hanya hitam dan putih. Jennie menghayati kejadian tadi. Ibu
akhir-akhir ini suka marah, mungkin karena ayah sudah tiada, tapi
kenapa aku yang harus kena? Bukan cuman ibu yang sakit, aku juga.. Jennie juga
sakit bu.. Jennie juga rindu ayah. Bosan dengan pemandangan
langit-langit kamarnya, Jennie pun membalikkan tubuhnya kearah Jendela mencari
warna disana, tapi hitam yang terlihat, dilangit beserta titik-titik pertama
hujan yang mengenai kaca jendela, Jennie lama menatap kosong jendelanya
kemudian bergumam “hujan.. ini seperti..”, pikiran Jennie berputar mengingat
kejadian kemarin, kejadian di sekolahnya, kejadian yang membuat ia ditertawakan
satu sekolah, Jennie dituduh menyontek saat ujian dan dihukum berdiri
dilapangan padahal saat itu sedang hujan, tapi bukan itu yang membuatnya sedih
dan benci, bukan soal ditertawakan satu sekolah, ini perihal teman sebangkunya
yang menuduh Jennie menyontek karena Jennie menolak memberikan jawaban
ujian. Anna ! Padahal kamulah satu-satunya yang kuanggap teman, tapi
kau menuduhku dengan tampang polos tak bersalah itu, aku juga bodoh tak melawan
hanya karena ingin menyelamatkan mukamu dari malu di kelas. Muak
dengan pikiran itu Jennie mengambil bantal dan menutup mukanya lalu berteriak
sekencang-kencangnya.
Malam itu, langit terlihat
buram akan gemerlapnya, bintang-bintang terusik tak terlihat, bulan pun
beranjak pergi dibalik awan gelap, tak ayal angin enggan bertiup seakan malam
itu menyimpan rahasia yang tak ingin terungkap.
Di lantai dua sebuah rumah,
cahaya dibalik pintu memang sudah redup, tapi penghuninya belum juga tertidur, Jennie
masih berkutat dengan pikirannya yang sendiri kesepian, tak ada teman, tak ada
mulut untuk diajak menumpahkan sesak didada. Sesal dengan isi kepalanya, Jennie
terbangun dan duduk ditepian kasur membelakangi Jendela, tak terduga kilat
menyambar dari balik Jendela sehingga sempurna tercetak bayangan Jennie
didinding, Jennie terdiam sesegera bayangannya hilang bersama kilat yang
menyambar, memikirkan apa yang dilihatnya tadi, tak pernah dia merasa seaneh
melihat bayangannya sendiri setelah dia membaca cerita itu di perpustakaan
ayahnya tadi. Cerita seorang gadis di hutan Kronos yang kesepian, sedang
mencari jawaban akan hatinya yang selalu menerka-nerka bila ada seorang teman
yang akan menemani malam-malamnya, kemudian menemukan bayangannya sendiri
sebagai teman. Jennie bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah?, lama
Jennie memikirkannya dan memutuskan bangkit dari kasur menuju laci meja
belajarnya, laci yang menyimpan sebuah senter, tapi saat Jennie tepat memegang
senter yang akan menjawab pertanyaan hatinya, dia menolak dan menaruhnya
kembali, ahh bodohnya kamu Jennie, itu hanya cerita, tak mungkinlah
nyata. Jennie yang menolak untuk tahu segera beranjak tidur.
“lihatlah dirimu, dari mana
saja kamu, lusuh, dan itu! Kenapa lengan bajumu yang sudah ibu jahit robek?,
bertengkar lagi? Jennie Liscean!”
Jennie berlari menuju
kamarnya dengan air mata yang ditahan, agar tak tertumpah dihadapan ibunya, Ia
tak menyangka dihadapkan dengan kemarahan ibunya, bukan sambutan seperti yang
diharapkannya setelah kejadian di sekolah, seisi kelas masih mengejeknya
perihal contekan itu, Jennie memberitahu kalau Anna lah yang menyontek, tapi
tidak ada yang percaya. Sakitnya, Anna hanya terdiam disudut kelas melihat Jennie
menjadi bahan ejekan.
Jennie menutup pintu
kamarnya, seperti menutup hatinya kepada siapa pun kali ini, mengurung diri,
tanpa pikir panjang, Jennie mengambil senter dilaci meja belajarnya dan
diletakkan persis disisi Jendela kemudian menyalakannya, praktis cahaya senter
mencetak tubuhnya, lalu muncullah bayangan Jennie didinding kamar. Jennie duduk
ditepian kasur menghadap ke bayangannya, sesunggukan menumpahkan air mata yang
sedari tadi ditahan. “Hei kamu yang didinding, apakah kamu temanku?”,
Jennie menunggu, tapi karena menunggunya lah, Jennie bergumam seakan tak
percaya apa yang dikatakannya, gila, aku bertanya pada bayanganku
sendiri, mana mungkin, Jennie tertunduk putus asa dan kasihan, kasihan
terhadap dirinya sendiri, hanya kedua tangannya lah yang mampu menyembunyikan
tangisan sedu diwajahnya. Dan percakapan itu pun terjadi. “Tentulah aku
temanmu, Jennie Liscean”. Jennie tercekat atas apa yang didengarnya,
mata Jennie terbelalak mencari asal suara itu, tak perlu pintar untuk
mengetahui dari mana asalnya, di kamar itu hanya Jennie dan bayangannya, Jennie
gemetar mengumpulkan keberanian dan menatap lamat-lamat bayangan itu
didinding. “Benarkah?” Mata Jennie menyipit, “tentu
saja, sudah lama aku berada didekatmu jauh sebelum kau menyadarinya dan
menunggu untuk menyapaku.” Mendengar jawaban bayangannya, Jennie
teringat cerita itu, cerita yang belum selesai dibacanya, tapi Jennie
tak perlu tahu kelanjutan cerita untuk menyambung bulir-bulir percakapan dengan
bayangannya sendiri, dia tumpahkan semua isi hatinya, bayangan itu seperti tahu
kapan harus berkata dan kapan harus diam, kemudian bayangan itu pun
berkata, “tahukah kamu Jennie, apa yang salah dalam dirimu?” Jennie
menggeleng tak tahu, “semuanya!”, Dahi Jennie mengkerut tak
mengerti apa yang dikatakan bayangannya sendiri, tapi bayangan itu belum
selesai, “Jennie Liscean, seharusnya kamu tak berada disini, harusnya
kamu dengan ayahmu, meringkuk dipangkuannya yang hangat, kecelakaan itu untuk
kalian berdua, pikirkanlah kenapa engkau selalu kesepian, itu karena memang
tempatmu bukan disini”. Jennie terdiam memaknai semuanya yang telah
terjadi, seakan semuanya sudah jelas, garis-garis kusut telah terbentang lurus
dipikirannya, jelas menuju satu titik gelap. Yaitu mati.
sampai
malam membuih tak kunjung habis, bergetar hujan turun disertai kilat-kilat
menyambar dari balik Jendela, lengkap sudah Jennie Liscean berjalan kekamar
mandi membawa sebilah pisau buah yang diambilnya diatas meja makan, tatapan Jennie
jelas menembus urat nadinya, sejelas irisan pisau bergaris merah merekah
dipergelangan tangannya, namun Jennie tersadar dan menghentikan laju pisau
ditangannya, segera pisau itu jatuh terpelanting turut dengan tubuh Jennie
merasakan dinginnya lantai kamar mandi, terbaring dengan tatapan Jennie jauh
menembus tembok-tembok penghalang melihat ibunya yang menangisi dirinya dibalut
kain putih. Aku bodoh, egois, ibu lah yang paling kesepian, aku hanya
sibuk dengan perasaanku sendiri. Jennie menangis sesenggukan, ada
segaris harapan yang menunggunya. Jennie bangkit, entah dari mana semangatnya
datang, dia ingin mengetahui sesuatu. Di perpustakaan ayahnya.
Jennie berjalan gontai
dilorong rumahnya, tak terhitung bekas darah didinding dan lantai rumah karena
usaha Jennie untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, sampai ditumpukan buku-buku, Jennie
menemukan cerita itu lagi, ini dia, Gadis Di Hutan Kronos. Jennie
membuka lembar demi lembar, menyisakan bekas darah dilembaran-lembaran yang
dilewatinya, Jennie pun mulai membaca dengan pucat pasi diwajahnya.
“Tapi bayangan itu berkata lain, tahukah kamu wahai
gadis kesepian, apa yang salah dalam dirimu? Gadis itu menggeleng
tanda tak tahu dan menunggu kata-kata selanjutnya, semuanya, wahai
gadis kesepian, seharusnya kamu tak berada disini, harusnya kamu dengan kedua
orang tuamu, meringkuk dipangkuannya yang hangat, kematian itu untuk kalian
bertiga, pikirkanlah kenapa engkau selalu kesepian, itu karena memang tempatmu
bukan disini. Gadis itu terdiam dalam lamunannya, seperti mencerna
lemat-lemat dan membenarkan perkataan bayangannya sendiri hingga pagi menjadi
saksi hilangnya gadis itu di danau tak jauh dari rumah sang gadis kesepian”.
Jennie mendengus, bukankah
ini hanya cerita fiksi, tak nyata, tapi kenapa gadis itu sama sepertiku?, pusing
tak terhindarkan lagi seiring hilangnya darah dipergelangan tangan Jennie,
namun Jennie tak mau menyerah menemukan jawabannya, oh tidak, gadis itu
berbeda denganku, aku masih memiliki ibu, aku tidak kesepian, ibu yang
kesepian, aku harus menemaninya, bayanganku hanyalah ada dalam kepalaku, aku
bingung sampai mencari-cari alasan dibalik sedihku, bayangan itu hanyalah
pelarian, tak nyata, bodohnya diriku, ibu..ibu..aku ingin ibu.
Jennie menemukan harapannya.
Berjalan menyusuri lorong-lorong rumah, tak ada penerangan hanya cahaya
kilatan-kilatan dari balik Jendela, tergambar menyilaukan mata, Jennie
bersemangat tapi tubuhnya sudah tak sanggup lagi, roboh, matanya berkunang.
Gelap.
Tersadar,tapi matanya tak
kunjung terbuka, hanya telinga yang sayup-sayup menangkap suara yang sangat
dikenalinya, Sisa-sisa cahaya mulai terkumpul dimata Jennie membentuk
warna-warna sosok wajah yang dirindukan.
“ibu..” Jennie bergumam
“iya nak, ibu disini,” kata
ibu Jennie sembari mendekatkan wajahnya.
“Jennie.. dimana bu?
Surga?”
“hush.. surga..surga
jidatmu” Jari ibu Jennie memencet hidung anak tersayangnya sambil tersenyum.
“soalnya, ada bidadari
dihadapanku” mendengar itu jari ibu Jennie makin dipincet dihidung Jennie.
“bidadarinya aku mungkin
Jen, iya kan?” ada Anna disana memunculkan wajah senyumnya diantara wajah
ibunya.
“Anna?, ah..!” Jennie
memalingkan wajahnya.
“Jen?” sekejap wajah riang Anna
berganti sedih.
“Anna bukan bidadari, tapi
bidadara, mirip laki-laki kamu!” kata Jennie menahan tawanya.
“ihh Jennie.. kebiasaan ya,
bidadari nih, bi..da..da..ri” Anna pun ikut tertawa.
“aku sudah dengar tadi,
kamu kan yang mendonorkan darah?” kata Jennie tersenyum
Anna tak perlu menjawab, dia
hanya membalas dengan senyumnya .
Gadis yang melupakan
bayang-bayang menuju tempat yang dirindukan. Malam itu Jennie terjatuh tepat
dipangkuan ibunya yang tertidur, tempat terhangat yang dirasakan. Ialah Jennie
Liscean yang menemukan kembali cahayanya.