Selasa, 02 Maret 2021

08.36 - No comments

GADIS DI HUTAN KRONOS

Alkisah seorang gadis yang tinggal sendiri di tengah hutan Kronos. Kedua orang tuanya meninggal dibunuh hewan liar saat berburu. Entah sudah berapa tahun gadis itu disana, tahun - tahun panjang yang membuatnya Jenuh terhadap hidupnya yang sering kesepian, kehidupan yang dihadapkan pada rutinitas yang sama setiap harinya, dibangunkan kicauan burung, mencari kayu bakar, berburu kelinci, dan ketika malam tiba tak ada yang istimewa, hanya cahaya rembulan yang mengintip dari celah-celah pohon mahoni nan tinggi, dan suara burung hantu yang menggema sesekali, tak ada teman selain sunyi. Tapi ada yang berbeda Malam itu, malam yang membuatnya lama tertidur, sibuk memikirkan bila ada seorang teman yang diajaknya bicara walau hanya sebentar, membicarakan betapa Jenuhnya dunia ini, berandai-andai sampai menjadi sempurna sudah kesepian dihati gadis itu, dan dia pun melihat bayangannya sendiri, terpantul oleh cahaya perapian disudut rumahnya, membuat bayangan itu sama besar dengan gadis itu. Ditatapnya lamat-lamat sambil berkata siapakah gerangan dirimu? seorang teman kah? Gadis itu menunggu jawaban dan benar terjawab.. teman? Iya aku temanmu, sudah lama aku berada didekatmu jauh sebelum kau menyadarinya dan menunggu untuk menyapaku, gadis itu tak perlu terkejut untuk menyambung bulir-bulir percakapan dengan bayangannya sendiri, tapi…

“Jennie..Jennie” suara panggilan dari arah dapur yang lama kian membesar, memanggil seorang gadis yang sedari tadi membaca buku-buku peninggalan koleksi ayahnya. Ialah Jennie Liscean. Gadis yang telah dirundung rindu akan kehadiran sosok yang selalu menemaninya disaat dia sedang bersedih, mencoba mengobati rasa dengan membaca buku-buku di perpustakaan pribadi ayahnya yang telah tiada, Jennie menutup bukunya kemudian disimpan rapi pada tempatnya semula dan segera bangkit setelah merapikan rambut sebahunya yang berantakan, beranjak menghapus sisa-sisa rasa penasaran akan cerita yang dibacanya tadi lalu menjawab panggilan ibunya.

“iya ibu, aku datang” Jennie berteriak sambil berlari dimana ibunya sedang menjahit diteras belakang. Langit saat itu gerimis, terlihat semburat awan hitam kelam menggulung langit dari arah barat beserta dengan kilatnya terlihat jelas diteras itu. Jennie ada di belakang ibunya, tak ada senyum tak ada kata-kata manis, Jennie disambut dengan cercaan.

“kamu itu! Belum genap sebulan ayahmu pergi, malah bermalas-malasan dikamar, bantu ibu lah disini!” kata ibu Jennie tanpa menoleh kearah Jennie yang tertunduk lesu dibelakang ibunya.

“tapi bu.. Jennie tadi lagi mem..” belum selesai kalimat Jennie sudah dibentak lagi.

“membaca? Diperpustakaan terkutuk itu lagi? Asal kamu tahu Jennie, diperpustakaan itulah ayahmu menghabiskan waktunya tanpa mengurus keluarga, sibuk dengan dunianya sendiri, dunia yang dia sebut akan membawa kebahagian di rumah ini, tapi apa? Dia hanya membawa duka dan kesepian yang mendalam meninggalkan kita dengan masalah-masalah yang kian bertambah, bertambah dengan kemalasan-kemalasanmu Jennie Liscean!” ibu Jennie berhenti berbicara untuk bernafas lebih dalam mencoba menghilangkan rasa sesak akan penderitaan didadanya, “sudah kerja PRmu?” sambung ibu Jennie dengan nada rendah, lebih seperti berbisik.

“be..belum bu..” kata Jennie seakan habis kata-kata, tercekat ditenggorokannya.

“ya sudah, selesaikan PRmu sana”

“ibu tidak mau dibantu? Kata Jennie sambil melihat ibunya meski kepalanya masih tertunduk.

Dengan cetusnya ibu Jennie berkata “tidak usah, ibu bisa sendiri”

Jennie tak perlu kata-kata selanjutnya, ia takut ibunya marah lagi, Jennie pun berjalan menuju kamarnya dilantai dua dengan gontai meninggalkan ibunya disana, tanpa tahu ibunya menangis tertahan, takut anak tersayang mendengar rintihan pilu yang dipendam untuk sang suami.

Jennie melempar tubuhnya kekasur, terlentang melihat langit-langit kamar yang gelap,seakan tak ada keceriaan disana, hanya hitam dan putih. Jennie menghayati kejadian tadi. Ibu akhir-akhir ini suka marahmungkin karena ayah sudah tiada, tapi kenapa aku yang harus kena? Bukan cuman ibu yang sakit, aku juga.. Jennie juga sakit bu.. Jennie juga rindu ayah. Bosan dengan pemandangan langit-langit kamarnya, Jennie pun membalikkan tubuhnya kearah Jendela mencari warna disana, tapi hitam yang terlihat, dilangit beserta titik-titik pertama hujan yang mengenai kaca jendela, Jennie lama menatap kosong jendelanya kemudian bergumam “hujan.. ini seperti..”, pikiran Jennie berputar mengingat kejadian kemarin, kejadian di sekolahnya, kejadian yang membuat ia ditertawakan satu sekolah, Jennie dituduh menyontek saat ujian dan dihukum berdiri dilapangan padahal saat itu sedang hujan, tapi bukan itu yang membuatnya sedih dan benci, bukan soal ditertawakan satu sekolah, ini perihal teman sebangkunya yang menuduh Jennie menyontek karena Jennie menolak memberikan jawaban ujian. Anna ! Padahal kamulah satu-satunya yang kuanggap teman, tapi kau menuduhku dengan tampang polos tak bersalah itu, aku juga bodoh tak melawan hanya karena ingin menyelamatkan mukamu dari malu di kelas. Muak dengan pikiran itu Jennie mengambil bantal dan menutup mukanya lalu berteriak sekencang-kencangnya.

Malam itu, langit terlihat buram akan gemerlapnya, bintang-bintang terusik tak terlihat, bulan pun beranjak pergi dibalik awan gelap, tak ayal angin enggan bertiup seakan malam itu menyimpan rahasia yang tak ingin terungkap.

Di lantai dua sebuah rumah, cahaya dibalik pintu memang sudah redup, tapi penghuninya belum juga tertidur, Jennie masih berkutat dengan pikirannya yang sendiri kesepian, tak ada teman, tak ada mulut untuk diajak menumpahkan sesak didada. Sesal dengan isi kepalanya, Jennie terbangun dan duduk ditepian kasur membelakangi Jendela, tak terduga kilat menyambar dari balik Jendela sehingga sempurna tercetak bayangan Jennie didinding, Jennie terdiam sesegera bayangannya hilang bersama kilat yang menyambar, memikirkan apa yang dilihatnya tadi, tak pernah dia merasa seaneh melihat bayangannya sendiri setelah dia membaca cerita itu di perpustakaan ayahnya tadi. Cerita seorang gadis di hutan Kronos yang kesepian, sedang mencari jawaban akan hatinya yang selalu menerka-nerka bila ada seorang teman yang akan menemani malam-malamnya, kemudian menemukan bayangannya sendiri sebagai teman. Jennie bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah?, lama Jennie memikirkannya dan memutuskan bangkit dari kasur menuju laci meja belajarnya, laci yang menyimpan sebuah senter, tapi saat Jennie tepat memegang senter yang akan menjawab pertanyaan hatinya, dia menolak dan menaruhnya kembali, ahh bodohnya kamu Jennie, itu hanya cerita, tak mungkinlah nyata. Jennie yang menolak untuk tahu segera beranjak tidur.

“lihatlah dirimu, dari mana saja kamu, lusuh, dan itu! Kenapa lengan bajumu yang sudah ibu jahit robek?, bertengkar lagi? Jennie Liscean!”

Jennie berlari menuju kamarnya dengan air mata yang ditahan, agar tak tertumpah dihadapan ibunya, Ia tak menyangka dihadapkan dengan kemarahan ibunya, bukan sambutan seperti yang diharapkannya setelah kejadian di sekolah, seisi kelas masih mengejeknya perihal contekan itu, Jennie memberitahu kalau Anna lah yang menyontek, tapi tidak ada yang percaya. Sakitnya, Anna hanya terdiam disudut kelas melihat Jennie menjadi bahan ejekan.

Jennie menutup pintu kamarnya, seperti menutup hatinya kepada siapa pun kali ini, mengurung diri, tanpa pikir panjang, Jennie mengambil senter dilaci meja belajarnya dan diletakkan persis disisi Jendela kemudian menyalakannya, praktis cahaya senter mencetak tubuhnya, lalu muncullah bayangan Jennie didinding kamar. Jennie duduk ditepian kasur menghadap ke bayangannya, sesunggukan menumpahkan air mata yang sedari tadi ditahan. “Hei kamu yang didinding, apakah kamu temanku?”, Jennie menunggu, tapi karena menunggunya lah, Jennie bergumam seakan tak percaya apa yang dikatakannya, gila, aku bertanya pada bayanganku sendiri, mana mungkin, Jennie tertunduk putus asa dan kasihan, kasihan terhadap dirinya sendiri, hanya kedua tangannya lah yang mampu menyembunyikan tangisan sedu diwajahnya. Dan percakapan itu pun terjadi. “Tentulah aku temanmu, Jennie Liscean”. Jennie tercekat atas apa yang didengarnya, mata Jennie terbelalak mencari asal suara itu, tak perlu pintar untuk mengetahui dari mana asalnya, di kamar itu hanya Jennie dan bayangannya, Jennie gemetar mengumpulkan keberanian dan menatap lamat-lamat bayangan itu didinding. “Benarkah?” Mata Jennie menyipit, “tentu saja, sudah lama aku berada didekatmu jauh sebelum kau menyadarinya dan menunggu untuk menyapaku.” Mendengar jawaban bayangannya, Jennie teringat cerita itu, cerita yang belum selesai dibacanya, tapi Jennie tak perlu tahu kelanjutan cerita untuk menyambung bulir-bulir percakapan dengan bayangannya sendiri, dia tumpahkan semua isi hatinya, bayangan itu seperti tahu kapan harus berkata dan kapan harus diam, kemudian bayangan itu pun berkata, “tahukah kamu Jennie, apa yang salah dalam dirimu?” Jennie menggeleng tak tahu, “semuanya!”, Dahi Jennie mengkerut tak mengerti apa yang dikatakan bayangannya sendiri, tapi bayangan itu belum selesai, “Jennie Liscean, seharusnya kamu tak berada disini, harusnya kamu dengan ayahmu, meringkuk dipangkuannya yang hangat, kecelakaan itu untuk kalian berdua, pikirkanlah kenapa engkau selalu kesepian, itu karena memang tempatmu bukan disini”. Jennie terdiam memaknai semuanya yang telah terjadi, seakan semuanya sudah jelas, garis-garis kusut telah terbentang lurus dipikirannya, jelas menuju satu titik gelap. Yaitu mati.

 sampai malam membuih tak kunjung habis, bergetar hujan turun disertai kilat-kilat menyambar dari balik Jendela, lengkap sudah Jennie Liscean berjalan kekamar mandi membawa sebilah pisau buah yang diambilnya diatas meja makan, tatapan Jennie jelas menembus urat nadinya, sejelas irisan pisau bergaris merah merekah dipergelangan tangannya, namun Jennie tersadar dan menghentikan laju pisau ditangannya, segera pisau itu jatuh terpelanting turut dengan tubuh Jennie merasakan dinginnya lantai kamar mandi, terbaring dengan tatapan Jennie jauh menembus tembok-tembok penghalang melihat ibunya yang menangisi dirinya dibalut kain putih. Aku bodoh, egois, ibu lah yang paling kesepian, aku hanya sibuk dengan perasaanku sendiri. Jennie menangis sesenggukan, ada segaris harapan yang menunggunya. Jennie bangkit, entah dari mana semangatnya datang, dia ingin mengetahui sesuatu. Di perpustakaan ayahnya.

Jennie berjalan gontai dilorong rumahnya, tak terhitung bekas darah didinding dan lantai rumah karena usaha Jennie untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, sampai ditumpukan buku-buku, Jennie menemukan cerita itu lagi, ini dia, Gadis Di Hutan Kronos. Jennie membuka lembar demi lembar, menyisakan bekas darah dilembaran-lembaran yang dilewatinya, Jennie pun mulai membaca dengan pucat pasi diwajahnya.

Tapi bayangan itu berkata lain, tahukah kamu wahai gadis kesepian, apa yang salah dalam dirimu? Gadis itu menggeleng tanda tak tahu dan menunggu kata-kata selanjutnya, semuanya, wahai gadis kesepian, seharusnya kamu tak berada disini, harusnya kamu dengan kedua orang tuamu, meringkuk dipangkuannya yang hangat, kematian itu untuk kalian bertiga, pikirkanlah kenapa engkau selalu kesepian, itu karena memang tempatmu bukan disini. Gadis itu terdiam dalam lamunannya, seperti mencerna lemat-lemat dan membenarkan perkataan bayangannya sendiri hingga pagi menjadi saksi hilangnya gadis itu di danau tak jauh dari rumah sang gadis kesepian.

Jennie mendengus, bukankah ini hanya cerita fiksi, tak nyata, tapi kenapa gadis itu sama sepertiku?, pusing tak terhindarkan lagi seiring hilangnya darah dipergelangan tangan Jennie, namun Jennie tak mau menyerah menemukan jawabannya, oh tidak, gadis itu berbeda denganku, aku masih memiliki ibu, aku tidak kesepian, ibu yang kesepian, aku harus menemaninya, bayanganku hanyalah ada dalam kepalakuaku bingung sampai mencari-cari alasan dibalik sedihku, bayangan itu hanyalah pelarian, tak nyata, bodohnya diriku, ibu..ibu..aku ingin ibu.

Jennie menemukan harapannya. Berjalan menyusuri lorong-lorong rumah, tak ada penerangan hanya cahaya kilatan-kilatan dari balik Jendela, tergambar menyilaukan mata, Jennie bersemangat tapi tubuhnya sudah tak sanggup lagi, roboh, matanya berkunang. Gelap.

Tersadar,tapi matanya tak kunjung terbuka, hanya telinga yang sayup-sayup menangkap suara yang sangat dikenalinya, Sisa-sisa cahaya mulai terkumpul dimata Jennie membentuk warna-warna sosok wajah yang dirindukan.

“ibu..” Jennie bergumam

“iya nak, ibu disini,” kata ibu Jennie sembari mendekatkan wajahnya.

“Jennie.. dimana bu? Surga?”

“hush.. surga..surga jidatmu” Jari ibu Jennie memencet hidung anak tersayangnya sambil tersenyum.

“soalnya, ada bidadari dihadapanku” mendengar itu jari ibu Jennie makin dipincet dihidung Jennie.

“bidadarinya aku mungkin Jen, iya kan?” ada Anna disana memunculkan wajah senyumnya diantara wajah ibunya.

“Anna?, ah..!” Jennie memalingkan wajahnya.

“Jen?” sekejap wajah riang Anna berganti sedih.

“Anna bukan bidadari, tapi bidadara, mirip laki-laki kamu!” kata Jennie menahan tawanya.

“ihh Jennie.. kebiasaan ya, bidadari nih, bi..da..da..ri” Anna pun ikut tertawa.

“aku sudah dengar tadi, kamu kan yang mendonorkan darah?” kata Jennie tersenyum

Anna tak perlu menjawab, dia hanya membalas dengan senyumnya .

Gadis yang melupakan bayang-bayang menuju tempat yang dirindukan. Malam itu Jennie terjatuh tepat dipangkuan ibunya yang tertidur, tempat terhangat yang dirasakan. Ialah Jennie Liscean yang menemukan kembali cahayanya.

Sabtu, 11 Juli 2015

21.38 - 1 comment

Friend is dandelion. It flies away


Hi, I come up again with all my problems in my life. hehe

I just think about this lately when she turns something else. I don’t know what is it exactly, what I know is she doesn’t like me anymore. I’m sorry if I’m wrong but it sure makes me feeling…. Not good. Yeah it’s driving me nuts.

Alright, so here I’m with my thought willing to tell the world that I’m confuse. Once you get serious about a good relation as a friend, feeling comfort with them, result in self-improvement, better attitudes, self-reliance, consolation, self-respect, and better welfare however they act different instantly by the time. Don’t you think there is something unclear there. Hey!

Well, now tell me what is friend?

Someone has said, “A friend is a person who is willing to take me the way I am.” Accepting this as one definition of the word, may I quickly suggest that we are something less than a real friend if we leave a person the same way we find her, but how I can serve my heart to make her better happy if she won’t accept me.

I went down to greet her at the first time after watched her all day long as a stranger. It was destiny we met in one condition that we should be a friend, cause we are partner in teaching.
“hi, are we cool?”
“yup”
“do you think we can make it?”
“yes you can.. um NO..we can make it” then she showed me her wide smile. Couples of month we shared many things through texting even calling, I found we had sameness in interest. she is funny as I am, she is prank mind as my mind, and she is caring as I am those things made me felt that she was my true friend ever to the most. Things have changed she hardly ever replay my text again, even so she replay it, however there is no sense in it. Worstly, I’m afraid I’m the only one feel this oddAnd now I’m feeling hopeless and starting to think that I am always alone at the beginning.

Well, it takes courage to be a real friend.



Minggu, 11 Januari 2015

06.22 - No comments

Kelas Inspirasi


     Hola teman, perkenalkan saya adalah relawan panitia Kelas Inspirasi dan saya bangga untuk itu. Tapi pertanyaannya adalah "apa yang membuat saya bangga?"

     Ok, pernah kah Anda bermain game dan mendapatkan skor tertinggi? Atau melihat dengan rasa penasaran proses sekerumunan semut mengangkut makanan sampai berhasil kesarangnya atau sekedar menamatkan novel tebal terfavorit. Yah, seperti itu lah rasanya kira-kira, ada rasa bangga menjadi salah satu relawan Kelas Inspirasi dan melihat gelak tawa dan senyum lebar yg tergaris di wajah anak-anak sekolah dasar di Kelas Inspirasi, saya dan teman-teman relawan yang lain memberikan kesempatan sehari anak-anak sekolah dasar melihat diri mereka di masa depan melalui kelas interaktif yang diajar oleh berbagai relawan profesi professional dibidangnya, tujuannya adalah memberikan anak-anak itu jawaban dari pertanyaan “cita-cita km apa,nak?” meskipun jawaban itu selalu ada dibenak mereka tapi mereka sesungguhnya tidak  mengerti apa yang mereka impikan, untuk itu lah kami mengajak Anda menjadi relawan pengajar untuk menginspirasikan profesi yang Anda geluti yang kelak akan menjadi cita-cita sejati dan alasan kenapa anak-anak sekolah dasar harus datang kesekolah.  Kelas Inspirasi mengajak Anda memberikan rasa nyaman yang Anda rasakan atas profesi Anda, rasa nyaman yang akan membuat mereka tersenyum lebar menjelang tidur dan siap meraih cita-cita esok.

     Bergabunglah bersama kami menjadi relawan pengajar di KELAS INSPIRASI GOWA 2015. meskipun sehari berbagi tapi menginspirasi selamanya.

Rabu, 23 Juli 2014

22.02 - No comments

Enam Dikali Tujuh

        Kemarin salah satu keluarga gue datang kerumah dari Kalimantan, sebutlah dia Om, saudara Emmak gue. Jadi Om gue ini nyapa seraya pegang kedua pundak gue kayak ngeliat baju ditoko, diperatiin cakep atau sebaliknya.
“hei, Dede(nama unyu2 gue waktu kecil), waduh udah besar ya, mana cakep (gue tambahin kata cakep biar lebih serek hati gue), gimana? Masih nakal aja kamu” katanya si Om sambil mau meluk-meluk dengan muka bersahaja tapi gue langsung ngindar takut dikirain homo. Sori Om gue orangnya rada Parno sama yang gituan. Trus gue jawab
“ahh apa sih ini Om, datang datang bilangnya nakal nakal aja, emang nggak ada yang lain gitu, lebih pinter kek”  sambil gue persilahkan duduk
“okeh, enam dikali tujuh sama dengan berapa?”
“enam dikali tujuh ya Om?”
“iya enam dikali tujuh”
“Eenaaaaam dikali tujuh , yakin nih Om enam dikali tujuh?”
“iyya yakin enam dikali tujuh”
“beneran enam dikali tujuh bukan Enam dikali satu?”
“iyya beneran enam dikali tujuh, udah cepet berapa hasilnya?”
“yaa siapa tau aja kan Om salah nyebutnya, tapi beneran nih Om enam dikali tujuh?
”…….” Om gue diem.
“OKKEH..OKKEH ENAM DIKALI TUJUH (dengan muka yakin) ENAM DIKALI TUJUH…ENNnam dikali tuuujuuuuh..”
*10 menit kemudian*
“Eh Om mau minum apa? Jus? Teh? Kopi? Ah kopi? Okeh tunggu ya Om ya sekejep” tanpa menunggu jawaban, gue langsung tancep gas bikin kopi. Gue harus menerapkan metode pengalihan isu.
*5 menit kemudian*
“ini nih Om kopinya diminum” kupersilahkan si Omnya minum, tak lama diseruput lah kopi panasnya
“ srupppppt ahh…. Ennaaam diii…”
“WAAAAAAA.. gimana kabar keluarga dirumah Om? Rani..Rani katanya udah mau nikah ya Om? Si Susi juga udah mau masuk SMA kan Om? Waah mereka udah besar ya Om padahal dulu masih keccil.. wuuhhuhhuhu”  gue yakin muka gue waktu itu sok asik banget.
“ENAMDIKALITUJUH” Om gue balap
“wahahahaha ngomong apa sih ini Om (tiba-tiba lupa ingatan) oh iya om, tadi kok ngomongnya s              saya nakal, emang gimana sih nakalnya Om,sering ngegombal ya?” kata gue dengan mata yang haus akan informasi meskipun dibuat-buat demi hal pengalihan isu.
“kamu tuh De’ lebih dari ngegombal, Om masih inget kamu suka tepuk pantat cewe-cewe, malah nggak pandang bulu..”
“he? Pandang bulu juga? Om ini ceritanya ngawur” kata gue potong.
“bukan pandang bulu itu semprul, maksudnya nggak milih-milih, tepuk cewe, tepuk ibu-ibu, tepuk tante-tante, tepuk nenek-nenek”
“nenek-nenek juga Om?” kata gue heran, nggak nyangka mesum waktu kecil gue terbilang expert, diem-diem gue bangga, pantesan aja gue ngerasa memiliki keterampilan itu sampai sekarang.
“bukan cuman itu, kamu itu suka banget joget”  katanya lanjut dengan mimik  yang seolah-olah gue itu menjijikan.
“emang apa salahnya kalo suka joget Om, ya kalo tepuk pantat sih masuk itungan” kata gue nggak terima.
“iya De’, tapi kalo joget diatas meja makan terus nggak pake celana?”
“waaaah itu sih bukan saya Om, anak tetangga kali tuh” masa iya sih itu gue, kalaupun iya bakat itu pasti kerasa sampe sekarang kan, tapi nyatanya kagak ada. Mungkin gue abis dihipnotis untuk menghilangkan kenangan itu.
“bukan! itu kamu, ingat sekali Om, waktu itu acara pernikahan”
“pernikahan?” kata gue terheran-heran, apapula dengan pernikahan.
“Iya , yang terparah kamu joget diatas meja makan waktu acara pernikahan, kamu bayangin berapa orang yang disana yang menyaksikan kamu joget gak pake celana”
*terbayang*
Gue hayati dalam-dalam bayang-bayang itu..banyak orang, gue joget dengan senangnya nan terkekeh-kekeh, nggak pake celana lalu pandangan semua orang tertuju padaku, mereka tertawa dan menyemangati supaya jogetnya lebih erotis.
“Om siapa ya? Saya dimana? Nama saya siapa?  Kita ngobrolin apa?” kemudian pandangan gue kosong menatap sekitar.
“kita ngobrolin kamu joget di atas meja makan saat acara pernikahan” Om gue celetuk.
“WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA NGGAKNGGAKNGGAKNGGAK.. BUNUH..BUNUH SAYA OM BUNUUUUHHHHHH, PISAU? PISAU MANAAAAAAAAAAAAAAAA? (gue sesenggukan meringis dalam tangis) bunnuuuh saya saja Om, bunnuuuh” ini seolah-olah kehormatan gue telah direnggut dengan paksa terus nggak terima dengan kenyataan bahwa gue kotor sekarang.
“Yaoloooh, tidak apa-apa, waktu itu kan kamu masih kecil jadi wajarlah” kata Om gue mencoba menenangkan sambil cengar-cengir.
“NGGAAAAAK!! nggak Om, percakapan ini nggak pernah terjadi, dan saya nggak tau apa-apa soal tepuk joget atau apalah itu okeeeeeh?, okeeee” gue yang mencoba menenangkan diri, iyalah masa gue se erotis itu, masih keccil pula gimana besarnya.
“iyaudah kita ngobrolin enam kali tujuh aja”
“………..”

Senin, 17 Maret 2014

04.50 - No comments

have you ever felt....




       Have you ever felt your nightmare becomes true? Something that you never imagine before but it happens to you. It’s worst to imagine it.. bad..  such a thought terrifies you. No matter how hard you try to tell yourself this is just a dream and when you wake up, it will be gone, then you realize……. It’s still happening.
       It was night about 7.30 pm, my friends came closer to me, they were Ulfah and Dian, as usual I said,
“Hai, what’s down earth?” with smiled of course and they just stared at me a while, they looked at me like “Ohh you are really pathetic”, feeling like that, I said
“What’s wrong?”, after heard my question, they just looked at each other with long deep breath and realized there must be something.
“Okay, now you make me scary” *means really scary.
“Bad news for you” they said that together in very slow voices
“Bad news, what?” I didn’t know exactly, maybe they could hear my heart beat.
“You’re being threatened” Ulfah said and Dian just stared at me, I didn’t know what was that about.
“Threatened? About what?”
“You’re not.. ”
“Yeah? I’m not?”
“You’re not allowed to join P2k this year”
Please underline the sentence, I call it nightmare.
I was shock, but I tried not to show it to them, then I said “Really? Is that true? You’re not joking around, right? hehe... okay, I give up, that was funny joke” looked them quitest, then I realized, they were serious, I could see their face. But once again, I tried not to show my feeling, and I just gave them a tough smile, but little bit weird. It was just, I’m a simple person who hides a thousand feelings behind the happiest smile.
       I was not in the classroom that time, I ran away from crowd, looked my friends had happy time in the class made me sad, stared them at the distance and thinking “I’m alone” then the pictures of memory pop up into my mind randomly about my PPL project, it is a time being a teacher in school like 2 months for teaching and at the second months, we have to make a report about what we’ve done in the classroom, yes that time, the report, the damn report. It was all about that PPL report. I admit it that was my own fault, I counterfeited my guide lecturer’s signature, all of the columns signature, yes all of the columns. When I went to the classroom I met with Ridho, “Hey Isal, you know, there is a news spread among students” he said and I just gave a respon like really, “There are people who can’t join P2K this year because they counterfeit signature of their guide lecturer” I heard him with calm face and said easily “really? that’s good” (WTF, WHY DID I SAY THAT, THERE’S NO GOOD IN THERE)
       The question is “why?, I was confuse to answer it, why did I dare enough to do something like that? Then I found it in loneliness, It was about, I was sick of waiting my guide lecturer. More like 4 days waited his signature, but it was not about the waiting, during the 4 days, he delayed almost oath meeting or canceled it. The most annoyed moment when he made a promise to meet me at 02.00 pm in front of his office about to sign my PPL report, then I was waiting him like more 4 hours, until I realized, there was no sign about him, then I decided to check him in his room, but I just found his friend in there and his friend said that he was not here anyway and I just said to his friend “That..is..cool, I’m here like 5 hours for waiting him” if I had a A.K 47 at that time, I would bang everyone around me and shout “YEAAAAH THIS IS AWESOME TIME”. Unfortunately I did that twice about waiting him.
       I was my limit then I decided to counterfeit my guide lecturer’s signature. 2 months passed and the bad news comes to say hello to me, there is no way except admit it in front my damn guide lecturer’s face like a horse “hiiiiiik”. I tried to be patient about whatever the end, I would accept it like that is ok, then the time came to force me enter the room of my guide lecturer, I walked heavily to him, closer, closer and closer then finally sat in front of him.
“What?” he said careless face
“Sir, I don’t know which part I have to start but please” then I gave him a piece of paper which I have written before about asking forgiveness and about the counterfeit, he have to sign my paper, that was the only condition to fulfill so I can join P2K this year.
“What is this?” he asked me but I was just silent because too nervous then he continued to read the letter “counterfeit? You counterfeit my signature, how dare you did that!” heard that statement, I knew already he won’t sign my paper, okay and I just went out his room with sad face, you know I went again in his room 1 hour later but he keep avoided to sign my paper. The other way I really thanked to him because he didn’t report about the counterfeit signature to police, I won’t imagine it.
       I’m not alone anyway, Allah SWT is always with me, gave me other way in magic seasoning, almost I can’t believe it, Prodi let me to join P2K after waiting several days with one condition I should never try to counterfeit anything again, of course I won’t do that.
       “NEVER GIVE UP. GREAT THINGS TAKE TIME”.